Mahasiswa Berwajah Dua
Mahasiswa identik dengan yang namanya
pencarian jati diri. Tak jarang mereka yang notabebe pengen mengekspresikan dirinya dalam pencarian jati diri terkesan overlapping dan berlebihan. Ada beberapa
hal menarik yang dialami mahasiswa dalam pencarian jati dirinya. Karena melihat
fenomena yang terjadi dikesehariannya, sebagian dari mahasiswa ada yang dengan
cara berdemo untuk menunjukkan keeksisan dalam memperjuangkan aspirasi
mahasiswa maupun masyarakat demi kebenaran.
Selain itu sebagian mahasiswa yang
lain berpendapat bahwa dalam pencarian jati diri dapat diperoleh dengan
mengembangkan minat dan bakatnya. Salah satu caranya adalah dengan bergabung di
lembaga intra kampus yang memiliki karakteristik yang berbeda sesuai dengan
kemampuan mahasiswanya.
Ada beberapa penyebutan dalam 2 hal
ini, yang pertama golongan berwajah dua dan golongan berwajah satu. Dua
golongan ini punya pandangan dan tujuan berbeda dalam wajah pergerakannya.
Namun terikat dalam satu status yang sama, yaitu mahasiswa.
Nah, golongan berwajah dua adalah
mahasiswa yang mempunyai dua seragam dalam kesehariannya. Contohnya aku yang
misalkan salah satu anggota di lembaga intra kampus, disisi lain aku juga salah
satu kader dari lembaga ekstra kampus. Secara akademis emang yang dilakukan
sah-sah aja demi pengembangan jati diri dan karakternya. Siapa coba yang bisa
menentang itu. Namun yang menjadi problem ataupun kecemburuan dari
masing-masing anggota lainnya adalah seberapa besar porsi dukungan dan
sumbangsihnya terhadap kedua lembaga yang ia geluti. Pastilah salah satu
darinya ada dilebihkan dan dikurangkan porsinya. Nah..ini loh.
Selain itu juga dengan keberadaannya
yang bisa dibilang punya massa dan dukungan dari dalam dan luar lebih mudah
dalam memperoleh jabatan di pemerintahan kampus. Yang dikhawatirkan adalah
lebih dominannya ia dengan lembaga ekstranya ketimbang lembaga intra. Mahasiswa
yang berharap ia sebagai aktivis idealis mesti tersakiti dengan keberpihakannya
dengan ‘golongan’. Hal ini yang mengecewakan. Ia membawa nama baik institusi
dan akademisi malah tercoreng dan tidak seimbang. Nah...
Kalau uda begini yang menyesal ya
mahasiswanya. Kepercayaan yang sudah diterima tidak dapat dijalankan dengan
maksimal karena kepentingan ‘golongan’. Satu lagi, si pemangku jabatan di
pemerintahan kampus ini akan terbagi konsentrasinya dan dilema dalam pengadaan
kegiatan. Ia akan membagi antara mengembangkan SDM golongannya atau mahasiswa
secara keseluruhan. Namun menurut hematku, ya pastilah ia lebih mengutamakan
golongannya. Lihat saja yang terjadi, ketika si pemangku jabatan tersebut
menjabat, ia akan membangu dinasti dari atas hingga jabatan terendah diisi oleh
‘orang-orangnya’.
Sehingga ya bisa jadi kongkalikong
politik dapat dengan mudah dijalankan. Karena meiliki ideologi dan tujuan yang
sama. Tidak adanya saling tegur menegur dalam mengemban masa bakti. Karena
kesalahan atau penyimpangan yang terjadi dapat ditutupi bersama.
Kalau begini yang rugi siapa?
Ya mahasiswa yang lain.
Menanggapi problema ini sebenarnya
ada beberapa solusi. Salah satunya dengan mengadakan sistem koalisi golongan
dalam lembaga pemerintahan kampus. Sehingga dengan adanya perbedaan wajah,
dapat memberikan stimulus-simulus hangat antar sesama penjabat. Tidak ada rasa
kelegowoan jika ternyata terjadi penyimpangan dan pelanggaran. Sehingga kinerja
yang apik dan sesuai dengan koridor akan terlaksana dengan baik.
Satu lagi solusi yang dapat
diterapkan adalah membentuk badan pengawas lembaga pemerintahan mahasiswa. Dan untuk
yang menjabat di lembaga ini haruslah orang-orang yang paham dan
independen. Sehingga berjalannya roda
pemerintahan yang baik mutlak terlaksana. Satua lagi, pihak birokrat juga harus
mendukung penuh segala program dan kegiatan positif yang dilaksanakan. Sehingga
terciptanya salah satu tri darma perguruan tinggi dapat tercipta.
Mahasiswa Berwajah Dua
Reviewed by Bamzsusilo
on
Kamis, April 24, 2014
Rating:
Post a Comment