Transformasi IAIN ke UIN, Wisuda dan Harapan Ortu
Apa hendak dikata, nasi udah jadi bubur. Tak mungkin waktu
bisa diulang. Walaupun menjadi wisudawan yang terakhir kali di kampus IAIN SU,
aku tetap bangga. Karena bakal menjadi sejarah yang tak terlupakan. Pas
kebetulan perayaan wisuda disertai launching IAIN SU menjadi UIN SU. Apalagi
Kemenag RI yang diwakili sekjennya turut hadir dalan perayaan wisuda Desember
tahun lalu. Ya walaupun kala sambutan, Pak Rektor sempat mengeluarkan statement
bahwa kami yang wisuda akan menjadi alumni perdana UIN SU yang akhirnya tak
kesampaian, apa boleh dikata. Harapan tak sesuai kenyataan.
Aku sempat kecewa sih, pada saat wisuda kemarin. Aku kira
seluruh wisudawan akan dilantik secara langsung oleh rektor. Tapi sayang sekali
sob, hanya wisudawan terbaik darimasing-masing jurusan atau prodi saja yang
dilantik oleh rektor. Kami yang tidak terbaik pertama harus rela memidahkah
tali toga secara personal. Oimak, sedihnya. Aku sempat mendengar siulan
kekecewaan dari para wisudawan di samping kanan kiriku yang duduk berbaris rapi
menggunakan pakaian toga lengkap.
Aku memandang ke sekeliling rekan-rekanku yang larut dalam
kekecewaan plus kebahagiaan. Raut wajah mereka yang mengkerut karena lelah bertaruh
selama 4 tahun memperjuangkan selembar ijazah berbaur bersama senyuman hangat. Tak
terkecuali diriku yang memandang tribun kanan ada keluarga yang turut
mendampingi proses wisudaku. Ada Bapak, Mamak, Kak Titi dan Bagus adik
tunggalku. Mereka dengan wajah bahagia menyambutku dengan penuh kegembiraaan
yang tak dapat dilukiskan. Bayangkan saja, separuh masa kuliahku, mereka tak
dapat bertemu denganku. Bahkan mulai dari aku tes ujian di IAIN hingga aku
semester 4 barulah mereka menyaksikan betapa masa kuliah penuh dengan
lika-liku.
***
Namun, sebenarnya aku sangat berbahagia. Harapan terbesarku
saat itu untuk membahagiakan orangtua lebih dini aku persembahkan. Mereka berkeinginan
agar aku cepat menyelesaikan kuliahku yang sudah telat satu semester. Walaupun ada
yang aku korbankan kala itu, namun aku harus ambil resiko yang cukup berani. Paling
tidak aku bangga disebut pecundang. Padahal mereka tidak menyadari alasan
dibalik semua itu. Yaitu, harapan orangtua.
Karena aku berfalsafah bahwa tak diridhoi aktivitas kita
sebagai anaknya kalau kata-kata orangtuapun masih bisa kita acuhkan. Karena pada
saat itu orangtualah yang sangat berjasa memberi pendidikan hingga bangku kuliah,mau
tak mau apa kata mereka harus aku turuti, akhirnya terjadilah sejarah tahun
lalu. Yang hanya terjadi sekali mungkin buat sejarah si D.
Kejadian itu tak patut untuk diingat-ingat. Biarlah menjadi
buih kenangan yang hilang diterpa sang waktu. Kejadian itu hanya perlu
dijadikan ibrah buat generasi selanjutnya. Bahwa tak selamanya hidup ini diikat
oleh peraturan manusia, masih ada aturan Illahi yang berada di atasa aturan
apapun. Apasih, kagak nyambung sob. Hehe.
Akhirnya, wisuda membawaku pada sebuah fase kehidupan baru. Fase
dimana kita mulai memperjuangkan kehidupan yang lebih kejam. Kita ada karena
apa yang kita lakukan. Kita binasa jika tak ada yang berpegaruh di sekeliling
kita. Semua serba cepat. Kita terlambat, maka kita dilahap. Sedikit cuplikan
hidup dari hamba yang senantiasa membuat sesuatu disekitar menjadi lebih
berarti.
“Dari perkuliahan, kita membangun peradaban.”
Salam Lombeng!
Transformasi IAIN ke UIN, Wisuda dan Harapan Ortu
Reviewed by Bamzsusilo
on
Sabtu, Juni 06, 2015
Rating:
Post a Comment