Dua Putra Yang ‘Sulit’ Melepas Masa Baligh
Foto: Bagus Irvan Embriana (10) adik kandungku yang baru saja khitan. |
Sekitar 13 tahun lalu.
Momen yang takkan pernah terlupakan.
Momen yang mengubah hidupku menjadi seperti saat ini. Ketika itu aku duduk di
bangku SD, kelas 5 mungkin. Kejadian yang sangat berarti tersebut berlangsung
ketika liburan caturwulan*.
Sebenarnya aku bisa saja menolak
agar momen ini tak terjadi padaku. Namun, mengingat besarnya keinginan
orangtuaku, akhirnya aku yang ketika masih berusia 10 tahun manggut-manggut
saja tanpa ada perlawanan untuk menolak.
Momen ini sudah dipersiapkan oleh
orang sekampung. Bahkan teman sekelasku juga ikut serta pada momen yang akan
mengubah hidup mereka. Karena menurut wejangan para orangtua, barangsiapa yang
telah melaksanakan momen penting ini. Segalanya bisa berubah. Bahkan hidupnya
juga. Makanya, orangtuaku berpegangteguh
untuk menyegerakan.
Akhirnya pada hari Minggu, aku
lupa tanggal berapa, pastinya pada saat libur sekolah. Aku diantar oleh Bapak
ke kantor kelurahan untuk menjalani momen yang sangat krusial selama 10 tahun
bernafas. Banyak terlihat pemandangan yang sama. Para bapak mengantar putranya.
Suasana ini semakin menguatkan tekadku untuk tetap lanjut melaksanakan prosesi
kejadian hingga selesai.
Kami duduk di barisan antri.
Bapakku mengobrol dengan bapak teman sekelasku. Aku hanya mendengarkan di
samping mereka. Mereka menceritakan keinginan anaknya masing-masing mengikuti
pelaksanaan kegiatan ini. Ada yang bersemangat, sedangkan Bapakku biasa saja menanggapi
tentangku.
Tak lama menunggu, setelah
beberapa kalimat obrolan ringan dari kedua Bapak yang mengantar anaknya masing-masing.
Tibalah saat pemanggilan nama antrian. Aku yang ketika itu bernama Bambang Edi
Susilo dipanggil dengan suara yang cukup keras oleh salah seorang petugas.
Dalam hati yang berkecamuk, aku melangkahkan kaki menuju sumber suara. Petugas
tersebut memberikan sarung dan menyuruhku ke ruangan kosong untuk mengganti
celanaku dengan sarung.
“ Lekas ganti celananya ya,
CD-nya juga,”kata petugas.
Aku mengangguk saja serasa
mengganti celana. Setelah itu datang dua orang petugas lainnya yang memakai
pakaian serba putih dengan kotak yang berisi alat. Mereka berdua langsung
mengajakku mengobrol.
“Siapa namanya dek?” sapanya
lembut.
“Bambang bang,”
“Berapa usianya,” tanyanya lagi.
“10 tahun mungkin,”
“Oke, dah gede. Tahan bentar ya
nantik. Agak sakit sedikit,” katanya sambil senyum.
“ya,” jawabku sumringah.
Tak terasa jarum suntik mendarat
di bokong. Sedikit ngilu ditulang panggulku. Tak selang beberapa lama, tubuhku
terasa kaku seperti kesemutan, tak terasa apapun. Petugas yang akau rasa
mantri/dokter mencubitku dan menanyai apakah terasa sakit. Aku bilang tidak
terasa apapun.
Tak mengulur waktu, kedua dokter
tadi melancarkan operasinya di daerah paling vital tubuhku. Aku hanya mengamati
kerja mereka. Terlihat sarung tangan dokter sudah tak utuh berwarna putih lagi.
Ada warna merah segar membentuk ornamen seperti kain lap yang baru saja
digunakan membersihkan darah.
Aku hanya menahan rasa geli yang
tak tertahankan. Aku sempat tersenyum-senyum dalam hati. Semoga cepat berlalu,
karena bukan sakit yang kurasakan. Tapi kegelian tiada tara. Namun, 30 menit
waktu sudah berlalu. Mereka belum juga selesai. Aku sempat bosan dengan
kegelian ini.
Ternyata aku mendengar bisikan
kedua dokter tersebut yang mengatakan kalau tit susah untuk diperban. Kalian
mau tau apa alasannya. Ntar aku bisikkan ya bagi yang penasaran.
Yah, aku resmi menjadi baligh
atau sudah dikatakan mulai dewasa saat itu juga karena sudah dikhitan/sunat.
Yang berkesannya sunat massal di kelurahan bersama teman satu kelas. Pengalaman
yang menurutku sangat-sangat menggelikan. Karena serius memang geli. Hahahaha.
Aku masih bayangin sampai saat ini.
Aku berniat menuliskan kisah
tentang proses pengkhitanku karena Minggu 27/12 lalu adik satu-satunya yang
sedang liburan sekolah juga melaksanakan khitan. Bedanya ia main tunggal,
sendirian di rumah. Gak sunat massal. Dan anehnya, sama juga kejadiannya.
Dokternya kesulitan menjalankan operasi seperti proses yang aku jalani.
Akhirnya aku menyebut kami (aku
dan adikku) Dua Putra Yang ‘Sulit’ Melepas Masa Baligh.
Dua Putra Yang ‘Sulit’ Melepas Masa Baligh
Reviewed by Bamzsusilo
on
Kamis, Desember 31, 2015
Rating:
Post a Comment