MEDIA JANGAN BUNGKAM, MEMBERANGUS PENGUASA YANG KEJAM
Sejak era reformasi, corong kebebasan berpendapat dibuka
selebar-lebarnya. Dampak positifnya, demokrasi yang berjalan hingga saat ini
tergolong sehat dan maju. Media lebih bebas mengeksplorasi berita sesuai kaidah
elemen jurnalistik. Otomatis pemerintahan berjalan sesuai kepentingan negara
dan bangsa. Rakyat pun ikut sejahtera menerima kebijakan pemerintah yang pro
rakyat.
Namun seiring berkembangnya kebebasan berpedapat, termasuk
pesatnya media online yang menjadi pilar penegak demokrasi sangat rentan terbentur
oleh ancaman penyebaran informasi bohong di media sosial. Sehingga pemberitaan
yang disajikan mengandung fitnah.
Hal ini tentu menjadikan masyarakat sebagai
korbannya. Masyarakat menjadi kabur dalam membaca berita yang benar benar fakta
dan terverifikasi, berita yang benar-benar sesuai dengan apa yang terjadi dan
terkonfirmasi.
Tak hanya itu, masyarakat juga terkadang dijadikan korban
oleh pihak terkait terhadap postingannya di media sosial. Dengan konten yang
agak ‘nyeletuk’ sedikit saja sudah diperkarakan pihak yang merasa dirugikan.
Nyatanya, konten yang dimuat tidak termasuk melanggar UU ITE jika dikaji dari
perspektif media. Hanya saja keberpihakan institusi penegak hukum terhadap
orang-orang ‘kuat’ menjadikan rakyat biasa menjadi sasarannya. Bahkan pelaku
media juga turut menjadi korban juga.
Pembunuhan Udin Jadi Pengingat
Tentu hal ini mengingatkan kita pada kasus pembunuhan Udin
yang hingga saat ini belum terselesaikan. Nyatanya 22 tahun lebih kasus pembunuhan
ini tak pernah terungkap. Pemerintah hanya bergeming seolah-olah kasus ini
dibiarkan berlalu.
Dikutip dari Pemberian Tirto.id, Mas Udin selalu bilang,
kalau memang ada kesalahan, ya, harus diberitakan sesuai fakta, memang begitu
kerjanya wartawan,” kata Marsiyem, istri Udin, kepada Rappler Indonesia pada
2015 silam.
Mas Udin selalu bilang, "Kalau memang ada kesalahan, ya, harus diberitakan sesuai fakta, memang begitu kerjanya wartawan,”
Belum ada tanda-tanda kasus Udin bakal diselesaikan secara
tuntas. Aparat masih belum bisa mengungkap siapa dalang yang membunuh Udin dan
apa motif yang dibawanya. Dan kecurigaan terhadap pihak kepolisian dan penguasa
kala itu menjadi alasan logis teman-teman Udin yang sempat mengangkat kasus
pembunuhannya.
Orde Baru sudah tumbang dan tergantikan oleh reformasi.
Sayang, kebebasan pers masih punya pekerjaan rumah besar yang belum
terselesaikan. Dan Udin mengingatkan kita akan hal itu.
Sehingga media harus berkomitmen untuk memperjuangkan
hak-hak publik atas informasi dan kebebasan pers. Dalam hal ini, media harus mendapatkan
segala macam informasi yang menyangkut kepentingan publik, tanpa intimidasi dan
pembatasan gerak mencari informasi.
Perlawanan terhadap pejabat yang bertindak tidak sesuai
konstitusi dan marak melakukan korupsi mesti diberi perhatian khusus oleh
media. Media bisa bekerjasama dengan lembaga pemerintahan yang menanggulangi
kejahatan pejabat seperti korupsi dan lainnya.
Media Harus Bersama
Perjuangkan Kebebasan Pers
Selain itu media juga mesti gigih memerjuangkan dan memertahankan
kebebasan pers. Tentu tujuannya adalah terpenuhinya kebutuhan publik akan
informasi yang obyektif. Jangan ada lagi kasus-kasus Udin berikutnya mencoreng
kebebasan pers yang memiliki tujuan mulia memberangus tirani pemerintahan.
Langkah langkah yang harus diambil media adalah terutama menciptakan
iklim pers yang sehat. Suatu keadaan yang ditandai dengan sikap jurnalis yang
profesional, patuh kepada etika dan mendapatkan kesejahteraan yang layak.
Ketiga soal ini saling terkait. Profesionalisme –plus kepatuhan pada etika--
tidak mungkin bisa berkembang tanpa diimbangi oleh kesejahteraan yang memadai.
Senada dengan yang visi-misi AJI adalah kesejahteraan
jurnalis yang memadai akan mempengaruhi jurnalis untuk bekerja profesional.
Jurnalis akan patuh pada etika dan bersikap independen terhadap suatu peristiwa
atau kasus.
Kesejahteraan jurnalis yang memadai akan mempengaruhi jurnalis untuk bekerja profesional
AJI juga memiliki program kerja untuk membangun komitmen bersama tersebut. Dan harapannya media di tanah air juga ikut serta dan menerapkan hal yang sama. Kesamaan persepsi untuk membangun media yang berkomitmen penuh itu akan melahirkan media dan jurnalis yang profesional.
Programnya antara lain sosialisasi nilai-nilai ideal
jurnalisme dan penyadaran atas hak-hak ekonomi pekerja pers. Sosialisasi
dilakukan antara lain dengan pelatihan jurnalistik, diskusi, seminar serta
penerbitan hasil-hasil pengkajian dan penelitian soal pers.
Sumber: Situs AJI Indonesia |
Karena sedang marak kasus persekusi yang dilakukan aparat,
mengakibatkan hak-hak mengemukakan fakta dan realita mulai terkebiri. Sehingga
peran media massa dalam hal ini harus menjadi ujung tombak penyelamat nasib
warga yang kurang mendapatkan keadilan di mata hukum.
Media Sosial Bukan
Ancaman Bagi Media Mainstream
Tentu hal ini mengancam keberadaan media mainstrem yang
telah lama berkecimpung di dunia pemberitaan. Dengan mengedepankan kaidah-kaidah
jurnalistik, malah media sosial lebih disukai dan terkadang diyakini oleh
sebagian masyarakat. Sehingga media mainstream kalah pamor dari segi pembaca
dan daya tarik.
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo)
mengungkap bahwa pengguna internet di
Indonesia saat ini mencapai 63 juta orang. Dari angka tersebut, 95 persennya
menggunakan internet untuk mengakses jejaring/media sosial.
Pengguna internet di Indonesia saat ini mencapai 63 juta orang (Kemenkominfo)
Presiden Jokowi saja beberapa waktu lalu pernah mengakui
kalau mengendalikan media sosial lebih sulit ketimbang media massa. Kehadiran
media sosial tersebut cukup memusingkan karena tidak ada regulasi tegas dan
kode etik yang memagarinya. Begitulah ucapan Presiden kala itu.
Oleh sebab itu diperlukan semacam revolusi media
besar-besaran untuk mengatasi problema ini. Tak hanya mengembalikan khittah media mainstream sebagai
penyampai informasi kepada masyarakat secara benar, namun juga mengembalikan
bacaan yang sehat dan jauh dari berita bohong kepada publik.
Upaya ini haruslah dilakukan secara bersama-sama. Tak hanya
perusahaan media, melainkan pemerintah dan masyarakat juga harus ikut andil di
dalamnya. Sehingga keberadaan media mainstrem sebagai pilar demokrasi dan
penyampai informasi tak lenyap digerus keberingasan media sosial yang kapan
saja bisa menenggelamkan perusahaan pers.
Yang dilakukan media saat ini adalah membuang jauh-jauh
stigma bahwa media sosial bisa membunuh eksistensi mereka. Media massa harus
menjadikan media sosial sebagai senjata andalan guna membungkam konten-konten
bohong media sosial.
Caranya cukup ikut serta memasifkan penggunaan media sosial
di dalam pemberitaan. Jadikan media sosial sebagai sosial marketing pemberitaan
kepada masyarakat. Kita memang tidak bisa membendung berkembangnya
konten-konten negatif, mamun kita bisa meminimalisasi masyarakat untuk
membacanya. Caranya dengan memperbanyak konten-konten positif diwaktu yang
sama. Tanpa fitnah, menyudutkan, dan tanpa verifikasi.
Setelah media mainstream kembali mendapatkan kepercayaan
publik, maka akan lebih mudah untuk kembali eksis memberitakan. Tentunya
terlepas dari tekanan penguasa dan oknum-oknum tertentu. Masyarakat pun akan
lebih cerdas memilih media mainstream mana yang benar-benar berbicara sesuai
kebenaran dengan media yang di balik tirai penguasa.
Semenjak banyak para penguasa negeri yang berpengaruh lahir
dari konglomerat media, kita akan disajikan pemberitaan tiitpan yang isinya
menunjukkan prestasi penguasa. Sehingga pilar demokrasi akan sangat sulit
terwujud sebagai watchdog-nya pemerintah jika media-media independen juga bungkam.
Pemerintah Yang
Mengedukasi
Upaya yang bisa dilakukan pemerintah adalah dengan
memberikan sosialisasi dan regulasi terkait literasi media yang baik dan benar.
Dalam hal ini masyarakat akan lebih memahami berita dari sumber mana yang mesti
dijadikan konsumsi sehari-hari. dan kita sebagai masyarakat akan terhindar dari
bahaya berita bohong.
Kominfo dalam hal ini memiliki beberapa tips buat masyarakat
agar tidak mudah termakan berita bohong. Diantaranya adalah:
-
Judul provokatif, kita patut curiga
Berita hoax seringkali menggunakan judul sensasional yang
provokatif, misalnya dengan langsung menudingkan jari ke pihak tertentu. Isinya
pun bisa diambil dari berita media resmi, hanya saja diubah-ubah agar
menimbulkan persepsi sesuai yang dikehendaki sang pembuat hoax.
Jika menjumpai berita dengan judul provokatif, sebaiknya
kamu mencari referensi berupa berita serupa dari situs online resmi, kemudian
bandingkan isinya, apakah sama atau berbeda. Dengan demikian, setidaknya kamu
sebabagai pembaca bisa memperoleh kesimpulan yang lebih berimbang.
-
Perhatikan alamat situs
Untuk informasi yang diperoleh dari website atau
mencantumkan link, cermatilah alamat URL situs dimaksud. Apabila berasal dari
situs yang belum terverifikasi sebagai institusi pers resmi -misalnya menggunakan
domain blog, maka informasinya bisa dibilang meragukan.
Menurut data Dewan Pers, di Indonesia terdapat sekitar
43.000 situs di Indonesia yang mengklaim sebagai portal berita. Dari jumlah
tersebut, yang sudah terverifikasi sebagai situs berita resmi tak sampai 300.
Artinya terdapat setidaknya puluhan ribu situs yang berpotensi menyebarkan
berita palsu di internet yang mesti diwaspadai.
-
Cek fakta
Salah satu hasil kolaborasi AJI dan media siber lainnya
adalah situs Cekfakta. Melalui situs ini kita sebagai masyarakat dapat mengecek
berita-berita yang diterbitkan media. Degan begitu, kita akan dapat memilah dan
memilih bacaan mana yang tepat buat kita konsumsi.
Kemudian perhatikan dari mana berita berasal dan siapa
sumbernya? Apakah dari institusi resmi seperti KPK atau Polri? Sebaiknya jangan
cepat percaya apabila informasi berasal dari pegiat ormas, tokoh politik, atau
pengamat. Perhatikan keberimbangan sumber berita. Jika hanya ada satu sumber,
pembaca tidak bisa mendapatkan gambaran yang utuh.
-
Cek keaslian foto
Di era teknologi digital saat ini , bukan hanya konten
berupa teks yang bisa dimanipulasi, melainkan juga konten lain berupa foto atau
video. Ada kalanya pembuat berita palsu juga mengedit foto untuk memprovokasi
pembaca.
Cara untuk mengecek keaslian foto bisa dengan memanfaatkan
mesin pencari Google, yakni dengan melakukan drag-and-drop ke kolom pencarian
Google Images. Hasil pencarian akan menyajikan gambar-gambar serupa yang
terdapat di internet sehingga bisa dibandingkan.
-
Ikut serta
grup diskusi anti-hoax
Di Facebook terdapat sejumlah fanpage dan grup diskusi anti
hoax, misalnya Forum Anti Fitnah, Hasut, dan Hoax (FAFHH), Fanpage & Group
Indonesian Hoax Buster, Fanpage Indonesian Hoaxes, dan Grup Sekoci.
Di grup-grup diskusi ini, netizen bisa ikut bertanya apakah
suatu informasi merupakan hoax atau bukan, sekaligus melihat klarifikasi yang
sudah diberikan oleh orang lain. Semua anggota bisa ikut berkontribusi sehingga
grup berfungsi layaknya crowdsourcing yang memanfaatkan tenaga banyak orang.
Dengan kolaborasi antara media, pemerintah dan masyarakat
diharapkan terciptanya dimensi sosial pemberitaan yang sehat. Pada akhirnya
tujuan media sebagai kritik sosial terhadap penguasa dan pejabat yang lalim
dapat berjalan sebagaimana mestinya. Karena masyarakat mampu mencerna berita
mana yang benar adanya dan fakta terjadinya.
MEDIA JANGAN BUNGKAM, MEMBERANGUS PENGUASA YANG KEJAM
Reviewed by Bembengers
on
Selasa, Juli 30, 2019
Rating:
Post a Comment